Senin, Februari 09, 2009

Kapan Pertama kali dimulai waktu

Waktu berputar. Seperti tak berujung dan berpangkal. Tak ada yang ingat pastinya kapan waktu pertama kali dimulai dan tak ada yang tahu pastinya kapan waktu akan berhenti. Pun tak ada yang tahu dari mana dimulainya waktu saat ia pertama kali diciptakan. Siangkah? saat matahari tepat jam 12 siang atau di saat matahari berada tegak lurus dengan ubun-ubun kita saat bediri. Atau mungkin barangkali saat fajar pertama kali membersit, seperti lecutan cemeti yang memanjang membelah kegelapan yang sebenar-benarnya gelap. Bisa saja waktu dimulai saat matahari pertama kali menyembulkan kepalanya diufuk timur seperti seorang penyelam yang baru keluar dari dasar lautan. Lantas kita pun bertanya, kapan waktu sebenarnya Adam diturunkan ke daratan bumi setelah terusir dari jannah? pertanyaan yang bodoh tentunya namun begitulah kebodohan yang jujur memang selalu bertanya, mencari dan menanti jawaban. Karena bodoh saya pun mereka-reka, mungkin saat gelapnya bumi ketika tak ada cahaya kecuali sang surya dalam kegelapan. Saat itu Adam terdiam, kebingungan. Berjalan sambil terantuk-antuk duri, bebatuan, semak belukar di depan. Binatang buas berkeliaran siap memangsa. Belum ada jalan setapak. Semua rimba. Semua padang ilalang. Semua jalan terjal yang curam. Kedinginan karena tak dibekali sehelai benang pun dari jannah. gelap segelap-gelapnya. Sunyi sesunyi-sunyinya. Hanya raungan atau teriakan membahana dari binatang yang tidak mengenal satu huruf pun dari sebuah peradaban. Karena memang semua baru dimulai. Dalam kepekatan malam yang seperti tak berujung Adam, bapak yang kita cintai menemukan kelemahan pertamanya sebagai manusia. Tak berdaya pada kegelapan. Atau karena Kasih Sayang Tuhan Adam diturunkan saat fajar dan kemudian di dalam ketidakberdayaan dalam kegelapan, bercampur-aduknya perasaan karena secara manusia biasa Adam pun akan mengalami gap psikologis atau shok culture menghadapi kenyataan kontradiktif dari indahnya surga.Taman yang terawat rapi, alam yang bercahaya, sungai yang mengalirkan madu, susu, khamr, yang tak pernah mengenal banjir bandang atau kekeringan. Belum lagi pakaian yang gemerlapan, makanan serta buah-buahan yang tak terbayang kelezatannya. Disempurnakan lagi oleh Hawa, ibunda kita yang jelita dan setia mendampingi kemanapun Adam pergi. Namun dalam sekejap bapak kita semua yang kita cintai ini terjerembab di ganasnya alam. Sendirian terpisah dari Hawa. Tidak ada manusia kecuali mereka berdua.Itu pun terpisah entah dimana. Betapa memilukan berada di tempat asing yang jauh berbeda dengan tempat sebelumnya. Ketika menyesali karena kekhilafan terpedaya memakan buah terlarang di saat itulah matahari terbit memancarkan cahaya. Cahaya yang pertama kali dilihat di sebuah tempat asing.Cahaya yang menyiratkan sebuah harapan, semangat, kehidupan serta harapan baru. Cahaya yang semurni-murninya cahaya tanpa radiasi ozon dari efek pemanasan global. Cahaya yang warnanya seasli-aslinya warna. Tanpa degradasi atau pembiasan karena efek radiasi industri masif kimia yang memenuhi atmosfer bumi. Saya membayangkan kedua mata Bapak dan ibu kita berbinar saat pertama kali melihat pagi pertama dalam kehidupan mereka. Pagi yang bercahaya! Menyeru asma Tuhan dan bertasbih tiada henti. Sebuah kehidupan baru menanti. Sebuah titik permulaan. Dalam kesunyian mereka saling menguatkan. Tak ada telepion seluler yang bisa digunakan sekedar mengirimkan pesan singkat, " Sayang..tabah ya..Insya Allah abang akan menjemputmu. with Love..Adam". Dan Hawa membalas pesan singkat tersebut,"Bang. .dinda setia menanti sampai Cahaya di depan mata kita tak terlihat lagi. Yang setia..Hawa" . Pagi pertama yang bercahaya. Dimulai dengan sebuah azam yang kuat. Sebuah tekad yang teruji hingga sekarang bahwa perjalanan cinta Adam dan Hawa saling menguatkan. Tanpa ada pesan singkat atau telepon yang mengobral kata. Demi melihat pagi yang bercahaya mereka berdua yang terpisah entah dimana berazam untuk saling menguatkan untuk kemudian satu hari nanti bertemu. Sekali lagi tak perlu mengobral janji, hanya ber azam di hati. Alangkah indahnya kisah cinta kedua oran tua kita ini. Sebagai anak cucu keturunannya kita mengabaikan moment indah ini. Sebuah waktu, di pagi hari yang bercahaya.

0 komentar:

Posting Komentar